Karena terkadang kita harus berbicara.

Tempat dimana semua saling bercampur tidak karuan.

Minggu, 13 Juni 2010

HOMICICE ( 1994 - 2007 )






Homicide adalah grup hiphop yang lebih 'punk' dari band punk di Indonesia, sekaligus sebuah band punk yang lebih 'hiphop' dari grup-grup hiphop di tanah air hahahahaha.

Sebenarnya itu cuma anekdot saja.Mengingat bahwa mereka lebih dikenal dikomunitas punk/hardcore dibandingkan dikomunitas hiphop sendiri,selama 10 tahun lebih eksistensi mereka.Ya,karena hiphop hari ini hanya dipenuhi anak anak orang kaya narsis dengan bling bling,yg sok memakai aksen gangster Los Angeles yg cuma bisa bilang,"gieeeh.... What's up nigaz..." That's bullshit, fuck them all !!!!

Jangan harap kalian akan menemukan lirik lirik standar khas grup hip hop butut masa kini macam party gak jelas,one night stand with stupid shit chiks,lirik lagu sok gangster,bla bla bla... Disini kalian akan akan menelan lirik penuh cacian dan makian yg berbau politik,protes,dan tentu saja,hardikan untuk mereka Para MC gadungan yg menjadikan mal sebagai ajang rap batlle bak medan perang seperti Saigon Vietnam.Bisa jadi kalian akan tersinggung,marah,atau bahkan tidak bisa berkata kata karena bahasanya yg sangat "terminal" dikawinkan dengan bahasa kaum intelek yg begitu straight to the point,lugas,dan menghantam hidung kalian hingga berdarah darah.Lupakan niat kalian untuk mendengarkan lagu lagu mereka sebelum kalian babak belur dibuatnya.

Disini,saya akan menghadirkan beberapa artikel,interview,yg diambil dari berbagai sumber.Alasannya sederhana,karena saya sangat mengagumi mereka.

Bagi kalian yg juga mengagumi mereka,silahkan membaca beberapa artikelnya.



::::Interview dengan ucok homicide::::

Dunia Ini tidak Baik-baik Saja

MENYEBUT salah satu musisi hip hop lokal, boleh jadi kebanyakan para penggemar hip hop akan menyebut Homicide di jajaran terdepan. Bahkan, untuk orang-orang yang tidak suka hip hop atau politik sekalipun, terpaksa harus menaruh perhatian pada band asal Bandung yang satu ini.

Politis dengan berbalut musik hip hop, itulah Homicide. Lewat dua minialbum yang pernah dikeluarkan, "Prosa Tanpa Tuhan" (2003) dan "The Nekrophone Days" (2006), Homicide banyak menyuarakan isu-isu sosial politik, dari mulai pasar bebas, utang negara, sampai budaya konsumerisme, yang dituangkan dalam rhyme-nya. Kabar baik bagi penyimak karya mereka, Homicide akan kembali mengeluarkan album dalam waktu dekat. Akan tetapi, kabar buruknya, itu akan jadi album salam perpisahan mereka.

Adalah Ucok a.k.a Morgue Vanguard, sosok yang tak bisa dilepaskan dari Homicide. Selain menjadi MC, lelaki bernama asli Herry Sutresna ini, juga banyak berperan dalam mencipta lirik-lirik lagu yang begitu tajam, menyilet, dan genius itu. Bukan hanya menunjukkan garis perlawanan lewat musik, Ucok juga aktif berjejaring dengan berbagai komunitas, dalam rangka kampanye komunitas melawan neoliberalisme. Salah satu bentuk kampanye itu berupa media gratisan bernama Jurnal Apokalips, yang beredar di beberapa komunitas buku, seni, sampai serikat buruh di Kota Bandung.

Bagi Ucok, neoliberalisme tak ubahnya sebuah sistem yang membuat dunia menjadi lebih tidak adil lagi, yang akhirnya hanya akan memenangkan segelintir orang, yaitu pemilik modal terkuat. Jika dulu ruang lingkupnya lebih kecil, kini aktor-aktornya pun bisa lintas etnis, lintas negara, dsb. "Sialnya, Indonesia punya sumber daya melimpah, tenaga kerja murah, dan pasar strategis, yang bisa jadi lahan empuk untuk imperialisme baru masuk ke sini. Untuk menghadangnya harus ada peningkatan kualitas, yang notabene butuh pendidikan. Sementara itu, akses ke pendidikan mahal," kata lelaki yang punya ciri khas berikat kepala ini.

Lulusan FSRD ITB kelahiran tahun 1974, yang kesehariannya berprofesi sebagai desainer ini, seolah tak kehabisan energi untuk berdiri tegak menolak segala macam bentuk penjajahan model baru tersebut. Simak obrolan Kampus dengan ayah tiga anak ini, tentang album baru Homicide, pilihannya untuk fokus di komunitas, sampai pada interes politik mahasiswa. Obrolan berlangsung di Common Room, Kamis (26/4), dan saat dirinya ikut bersimpati pada aksi hari buruh di GOR Saparua, Kota Bandung, Selasa (1/5).

Homicide sudah belasan tahun, tetapi kenapa minim rilisan? Dan kenapa disudahi?

Karena nggak punya duit aja. Pernah ada tiga label besar yang nawarin, tetapi pilih mandiri aja, daripada banyak kompromi. Dibubarin itu karena ya udah kejauhan aja. Tapi saya mahnge-band, he he he. Hanya Homicide aja yang bubar karena sudah kelamaan, 13 tahun. Sudah terlalu jadi mitos juga. Menyebalkan kan kalau kayak gitu. mau tetap

Jadi legenda maksudnya?

Sebenarnya ada enak dan nggak enaknya. Enaknya, bisa ketemu dan komunikasi sama banyak orang. Nggak enaknya ya gitu, misalnya, diomongin gini gitu, baik komentar positif maupun negatif. Akan tetapi, dua-duanya dampaknya banyak yang buruk. Saya pernah ketemu sama anak SMA. Katanya nge-fans berat, pas sudah ketemu saya, lalu dia nggakngomong. Dipikirnya teh saya gimana-gimana. Sebenarnya itu kan malah jadi kontraproduktif. Malah saya inginnya dia biasa aja. Jangan melihat saya sebagai sosok apa, gitu. bisa

Ada juga yang lebih mengerikan. Kadang diomongin orang nggak jelas. Dampak negatif kayak teror, dsb., ah sudah malas lah. Kadang ada juga orang yang mau terlibat sama saya karena hanya melihat Homicide-nya. Padahal yang saya perlukan, keterlibatan karena kesadaran dia, bukan karena diajak saya yang personel Homicide.

Cerita soal album barunya, dong!

Kita ada tiga projek, yaitu split album sama band Prancis, Mary Read Collectives, sama-sama hip hop juga. Dibikin dan dirilis di Prancis, kita hanya kirim materi aja. Juga ada split album sama MC Homeless dari Amerika. Yang ketiga, album sendiri. Di sini, si Aszi balik lagi, jadi sekarang sama Iwan (DJ), Aszi (MC), dan Andre (gitaris). Rencananya dirilis Agustus.

Kamu berharap apa pada orang yang mendengar lagu-lagu Homicide?

Motif saya mah simpel. Yang namanya informasi di luar sana kan banyak banget. Mau menangkap kebenaran itu susah. Kalau ibaratnya di luar adalah lautan, saya hanya melempar pasir. Dengan harapan, orang bisa manangkap pesan kecil bahwa dunia ini tidak baik-baik aja. Everything is not okay. Apakah kemudian nanti orang mau aktif, mau gelisah, mau tidur, mau diam, ya nggak masalah.

Apa tanggapan kamu untuk orang-orang yang bilang kamu hanya omong kosong?

Beu.., banyak! Biar aja, nggak mesti saya jawab. Orang-orang nggak percaya sama saya, ngapain juga mikirin saya, pikirin aja hidupnya sendiri. Selama ini saya komunikasi dengan kawan-kawan yang tertarik. Akan tetapi bukan berarti saya nggak berteman sama mereka atau sama orang yang tidak suka politik. Cuma artinya, saya hanya peduli sama orang yang peduli. Yang tidak tertarik, yang caci maki, yang bilang bull shit, ya itu nggak apa-apa. Marah-marah malah menghabiskan energi.

Omong-omong tentang politik, menurut kamu gimana interes anak muda ke sana?

Aktivitas politik itu tidak menarik untuk anak muda, kenapa? Karena nggak keren! Lebih dari itu, coba lihat aktivitas politik mahasiswa di kampus, itu tuh monoton. Nggak ada orang-orang yang alternatif, yang bisa punya banyak pemikiran. Saya yakin, makin homogen aktivitas itu, makin miskin juga imajinasi di situ. Jadi, ya gitu-gitu aja karena orang-orangnya yang itu-itu aja. Sedangkan anak muda lainnya, berpikir bahwa politik itu nggak keren, bikin malas, dsb. Padahal, kenapa juga nggak dibikin keren?

Buat saya, ada dua politik, yaitu politik pakai "p" besar, yang urusannya sama partai, pemilu, dewan, dsb, yang pening lah kalau dipikirin. Nah, kita sebenarnya bisa ngomongin politik yang pakai "p" kecil. Gimana cara kita mengorganisasi kawan-kawan kita, masyarakat terdekat, lalu punya kekuatan sendiri untuk mengubah sesuatu ke arah yang dianggap lebih baik. Paling tidak, nasib kita sendiri lah.

Dari partai politik sekarang fokus di komunitas, kenapa?

Semenjak tidak aktif di partai (PRD-red.), saya masih ingin terlibat dalam perubahan. Hanya fokusnya aja yang pindah. Dalam ruang lingkup kecil, yaitu ruang lingkup komunitas. Saya memfokuskan diri di komunitas karena itu yang paling dekat. Sebenarnya sih, sesederhana itu aja. Kalian ada di mana dan apa yang bisa dilakukan.

Contoh, kawan-kawan mahasiswa yang concern pada pendidikan, ya berjuanglah di situ. Karena secara tidak langsung membantu orang lain juga. Kawan-kawan di PTN misalnya, dibadanhukumkan itu kan sebenarnya hanya istilah lain menjual pendidikan ke orang-orang yang punya duit. Jangan isu jauh dulu lah. Bukan berarti isu "besar" nggak penting. Isu semacam korupsi dewan juga penting, tetapi energinya jangan habis di situ.

Pendapat kamu tentang partai politik?

Itu flu burung, harus dibasmi, ha ha ha. Coba pikir aja lah. Kurang lawak apa coba. Meskipun saya pernah masuk partai dan akhirnya saya tahu. Partai politik itu, ya seperti yang dilihat, ya seperti itu. Rakyat juga tahu, korupnya kayak apa. Pas kampanye apa, lalu jadinya apa. Sia-sia itu pemilu. Sebenarnya yang akan mengubah sesuatu secara signifikan adalah keterlibatan orang di komunitasnya sendiri untuk mengubah sesuatu. Bukan secara pasif nyolok partai, lalu mengharapkan partai itu melakukan perubahan. Seolah-olah lolo sama seseorang, yang nggak tahu hidup lo mesti diapain. Padahal sudah jelas, kalau ingin mengubah sesuatu, ya organisasi diri lo, teman-teman, masyarakat, untuk mengubah apa pun yang mau diubah. Coblos hanya menghasilkan statistik, lalu sisanya adalah lawak. Mereka pikir hidup sudah selesai dengan mencoblos, padahal ya tidak. menyerahkan kuasa hidup

Soal keberagaman untuk melawan neoliberalisme seperti yang kamu bilang?

Keberagaman itu perlu ada karena neoliberalisme adalah mekanisme penyeragaman, dari pihak mana pun yang punya modal kuat. Untuk level konsumsi, riilnya ada bagusnya kalau kita mengonsumsi produk-produk kawan-kawan sendiri. Biar duit muternya di sini-sini juga. Contoh, industri clothing di Bandung. Industri lokal kayak gitu bisa memperkuat ekonomi lokal. Lepas dari budaya konsumerismenya, industri clothing lokal itu sudah memberi nafkah beberapa orang.

Perlawanan tidak selalu harus revolusioner meski aktivitas itu harus tetap dilakukan. Justru untuk melakukan sesuatu, yang banyak diharapkan adalah orang-orang kelas menengah kayak kita ini. Kelas menengah itu lebih sedikit dibanding kelas buruh, cuma pengaruhnya bisa lebih vokal, untuk bantu yang tertindas haknya, dsb. Namun sebenarnya tinggal memilih, mau diam atau ngapain, ya terserah aja. ***



Ucok "Homicide" tentang Godspeed You! Silence Emperor
Oleh Ucok "Homicide"

Pengantar Redaksi: Sebenarnya musisi sekelas Herry “Ucok” Sutresna dari hip hop kolektif Homicide tidak perlu lagi perlu diperkenalkan. Jurnal Inside Indonesia yang terbit di Australia menulis Homicide sebagai band hip hop veteran yang “overtly political and with their aggressive style and confrontational on-stage oration, Homicide has collected a loyal fan base and a notorious reputation.” The Jakarta Postmenulis band Ucok sebagai band paling cerdas (cerebral) yang pernah muncul di belantika musik Indonesia dan album mereka Nekrophone Dayz: Remnants and Traces from the Days Worth Livingmasuk sebagai album terbaik Indonesia dekade pertama abad 21. Tanda kalau mereka punya kredibilitas; bubar sebelum menjadi parodi diri mereka sendiri.
Larilah kawanku, ke dalam kesendirianmu! Kulihat kau jadi tuli oleh suara riuh orang-orang besar dan tersengat oleh orang-orang kecil. Hutan dan karang tahu benar bagaimana jadi membisu bersamamu. Jadilah engkau seperti pohon kembali, dengan tenang sepenuh hati ia menjulurkan dirinya ke laut.
Dimana kesendirian berhenti, pasar pun mulai, mulai pula lah riuh rendah para aktor besar dan desau kerumun lalat beracun.”
- Sabda Zarathustra, Nietzsche


Adalah John Cage, pada tahun 1952, melakukan sebuah proyek yang berhubungan dengan kepenasaranannya terhadap kesunyian. Berawal dari rasa skeptisnya terhadap apa yang disebut ‘keheningan’, ia melakukan observasinya mengunjungi tempat-tempat yang ia harap dapat menemukan ‘ketiadaan suara’, dan hasilnya sungguh tak ia harapkan; Cage tak menemukan apa yang ia sebut ‘total silence’. Dimanapun itu “ketiadaan suara adalah hal yang mustahil” ujarnya ketika ia berada dalam ruangan anechoic di Harvard University, sebuah ruangan yang dapat membuat seseorang mendengar suara apapun yang dihasilkan dalam ruangan tersebut bahkan sirkulasi darah dan detak jantungnya sendiri.


Kemudian observasinya bermuara pada komposisi dan performance yang ia beri titel 4'33? yang kontroversial itu, dimana ia hanya duduk diam di depan sebuah piano dan tidak melakukan apapun kecuali menaikkan dan menurunkan lid piano, menghasilkan suara-suara yang tak disengaja hadir. Tak lebih. Selama tepat 4 menit dan 33 detik, performance itu usai dan hanya itu.

Dihadapan ratusan yang datang pada saat penampilannya itu, tentu saja Cage bukan sedang melawak, mencari sensasi, atau hanya sekedar mencari ketidakwarasan. Justru sebaliknya, dengan waras Cage sedang melanjutkan proyek avantguard-nya dalam mempertanyakan dikotomi antara suara dan kesunyian. Ia berargumen dikotomi tersebut tak pernah ada, menurutnya ‘kesunyian’ sebagai absence of sound tak pernah hadir ditengah-tengah kita. Yang ada adalah keinginan seseorang untuk mendengar sesuatu, termasuk didalamnya berarti pula mengusahakan perhatiannya terhadap sesuatu yang ingin ia dengarkan. Ia lalu mendefinisikan ‘kesunyian’ sebagai sekedar ketiadaan suara-suara yang sengaja akan dilakukan atau diharapkan ada, pengalihan perhatian yang sedemikian rupa sehingga dapat diartikan bahwa “kesunyian adalah hanya sebuah usaha mengakhiri perhatian” sehingga “Kesunyian adalah sekedar perubahan pemikiran belaka”, dan suara tetap lah ada disana. Suara dalam kesunyian adalah suara yang tak ingin atau tak sedang dimaksud untuk kita didengarkan.

Sumber gagasan Cage dalam membuat 4’33” sebenarnya berasal dari rekannya Robert Rauschenberg yang membuat pameran serangkaian lukisan yang sekilas nampak kosong, hanya kanvas putih belaka. Namun lukisan-lukisan Rauschenberg tersebut tidaklah kosong, hanya saja ia mencat kanvas dengan cat putih. Ia sedang berbicara tentang persepsi kekosongan yang sebenarnya pula tak pernah ada. Kosong, sunyi, tak bersuara, titik nol, netral, tak berpihak, semuanya hanya persepsi. “Jika ada seseorang yang memposisikan dirinya dalam sebuah kekosongan dan kenetralan, itu hanya persepsi mental-nya yang berusaha menempatkan diri di luar titik-titik biner yang ia persepsikan pula ada”

Usaha untuk mempertanyakan ke-netral-an ini yang mengingatkan kita pada Godspeed You! Black Emperor (selanjutnya saya sebut Godspeed saja). Menakutkan sekaligus indah, Godspeed yang kita tahu menulis musik instrumental yang melukiskan dunia pasca-apokalips, yang kadang terlalu sunyi dan terlalu bising untuk diputar di radio dengan durasi lebih dari 20 menit. Mereka memang dengan sangat disengaja memasukkan kesunyian dalam komposisi-komposisi epic mereka, kadang sepanjang 2-3 menit, kadang memakan sepertiga komposisi. Pendiri dan motor di balik Godspeed yang sekaligus gitaris Efrim Menuck dalam salah satu wawancaranya (yang sangat jarang mereka lakukan) berbicara perihal kesunyian, sebagai nihilisme namun bukan sebagai posisi ketidakberpihakan dan peniadaan kehendak untuk memposisikan diri dalam dunia.

“Kesunyian dalam komposisi kami adalah sebuah jeda refleksi. Untuk merasakan dan menghargai suara. Suara-suara yang kami bangun dari titik nol, setelah kami membuat senyap, meruntuhkan dunia dalam beberapa menit” Dengan jawaban argumen yang lebih mirip Proudhon dibanding mirip Cage, tak heran Godspeed menghindari teks literal dan membuat musik mereka tanpa lirik. “Bahasa tak cukup mewakili ide-ide kami, bahasa memenjarakannya”. Tentu saja bagi kita, yang terbiasa dengan musik ber-‘pesan’ dan terjebak dalam biner musik politis/tidak politis, grup musik seperti Godspeed akan terlihat begitu paradoks. Mereka menyerukan seruan pada perubahan dunia yang kehilangan harapan, namun di sisi lain mereka tidak berbicara pada kita seperti kebanyakan grup musik -ehm- ‘politis’ lainnya.

Apapun itu, yang pasti dengan semua usaha-usaha mereka dari mulai mendemistifikasikan musik (di dalamnya berarti pula silence dan noise), pelaku musik (artist dan audience), industri musik hingga detil-detil produk mereka seperti titel lagu yang menunjukkan tanggal Ariel Sharon memprovokasi penyerbuan ke Palestina dan cover yang lebih mirip peta konspirasi industri musik dengan industri militer, Efrim dan Godspeed-nya sama sekali tidak merepresentasikan sebuah posisi ke-netral-an. Ketiadaan teks bagi mereka bukan berarti berada dalam kehampaan, kekosongan objektifitas.

Justru sebaliknya lah, dari Cage dan Godspeed kita bisa merenungkan ulang sebuah posisi subjektif di tengah pergolakan objektif kerumunan massa. Diingatkan kembali pada bentuk-bentuk kehadiran, usaha keterlibatan, bergabung pada kehadiran lain di dunia tanpa harus memakai seragam dan berteriak-teriak ditengah pasar dan kampanye para elit politik. Godspeed memberi perbedaan pada makna ‘menghindari kalayak’ dan ‘melakukan/menciptakan sesuatu’. Mereka lebih mirip pada kisah Zarathusta pada lembaran Nietzsche yang mengajak kita pada kesendirian, bukan kesunyian. Mengajak keluar dari konformitas mental kawanan dan gerombolan dalam beragam bentuknya, dari mulai masifikasi atas nama pasar hingga penyeragaman atas nama politik, untuk kemudian menemukan kesendirian pada hal-hal penciptaan. Kesendirian yang bukan usaha menuju isolasi yang menutup diri dari persentuhan dunia dengan yang ‘bukan kita’. Namun justru sebaliknya, dalam metafor Nietzsche, menjadi bagian lekat dari ‘hutan dan karang’yang dengan tenang sepenuh hati ia menjulurkan dirinya ke laut. Disini kita melihat Godspeed mencoba untuk menghampiri dunia bukan untuk menguasai, seperti kekuasaan dan politik para caleg.

Lepas dari semua hype post-rock dan tetek bengek avantgardis yang sedang di eksploitasi industri media entertaintment hari ini, Godspeed dapat kita representasikan sebagai wakil suara akhir zaman, sebagaimana musik mereka. Seperti halnya suara yang tak mungkin tak hadir dalam sebuah keheningan, kita diajak untuk melihat kembali alternatif lain diluar posisi biner, mungkin salah satunya, menggubah sebuah komposisi lagu versi kita di tengah keapatisan massa dan hiruk pikuk di depan kotak suara. Membangun generasi baru yang terlalu lelah dengan apatisme namun pula terlalu muak dengan demokrasi kotak suara, karena netral itu tak pernah ada dan kesunyian kosong hanya lah pengalihan persepsi.

Death Rock Star:Interview with Homicide

Sebuah rekaman kaset cukup untuk membuat saya tertarik untuk mengenal mereka lebih jauh, makin tertarik setelah membaca lirik lirik dan tulisan tulisan mereka diberbagai media newsletter atau cuma selembar kertas. Album yang membuat saya kecewa telah memberikannya pada pereview DRS yang anti musik sejenis… Homicide

sudah memberikan harapan dan pencerahan baru pada saya tentang apa yang disebut Hip-Hop atau Rap ? kalimat tersebut ga terlalu berlebihan kok? dan melalui interview ini beberapa keingintahuan saya terpenuhi dengan jawaban jawaban yang menyenangkan?
Interview by Eric Wiryanata

image apa yang ingin dibangun dengan menggunakan nama “Homicide’?
Image? apa ya, bingung saya, waktu pertama bikin, dulu taun 1995, ngga ada pikiran mau bikin image apa…, Sebenernya si Lephe yang dapet nama itu, tadinya Verbal Homicide, terus dianggap kepanjangan ya dipendekin jadi Homicide doang. udah gitu aja cerita dibalik nama sih….

selama ini Homicide dikenal sebagai band Hip-Hop. menurut pandangan loe sendiri apa itu Hip-Hop?
Buset…, apa ya? yang ada dipikiran lu apa? buat saya sih hiphop itu ya saya, saya adalah hiphip, pemaknaan atas eksistensi, bukan produk yang dibikin definisi dan eksistensinya ama orang. So that’s it…, sori kalo jawaban saya pendek dan ngga memuaskan, abis saya bingung mau dijabarin sedeskriptif apa label-labelan kayak gini…

lirik lirik rhyme yang Homicide buat, menurut gue unik banget dan menarik. darimana Homicide mendapatkan sumber sumber inspirasi penulisan lirik? dan bagaimana biasanya proses penulisan itu terjadi?
Sumber inspirasi saya bejibun, tergantung dari sumber atas inpirasi model apa, technicly or spiritualy or (dare i say) ideologicaly? contohnya, inspirasi saya untuk nulis rhyme didapet dari pengalaman setengah umur saya dengerin hiphop dari Public Enemy sampai Quasimoto, dari The Last Poets sampai Company Flow. Lebih teknis lagi cara saya nemuin konstruksi rhyme saya diinpirasikan ama Rakim dan KRS-One, lebih teknis lagi cara saya bermetafor saya ketularan El-P, Bigg Jus dan Mr.Len, lebih teknis lagi; inpirasi atas penemuan eksotisme atas rima saya dapet dari sejarah berabad-abad manusia nulis puisi, prosa dan rima tentunya…, contoh lain; inspirasi atas penulisan musik saya berhutang banyak ama mereka yang menemukan jeep beats, dari Gangstarr sampe EPMD sampe (tentunya) Public Enemy (Long Island sounds rules!!!), cara saya maling kebrisikan dunia dan saya masukin ke komposisi saya terinpirasi the Bomb Squad, Merzbow, Godflesh dan mereka-mereka yang gak betah diam di dunia tangga nada, dan…. ah banyaklah jadi ya… inspirasi terhadap apa dulu… Dan kalo ngomongin proses juga bisa macem-macem, selalu berganti-ganti, dan saya sendiri terus nyari proses-proses kreatif dalam penulisan lirik, ngga mau mentok dan puas disitu-situ aja, tapi umumnya saya berangkat dari beat, selalu beat sebagai parameter, karena saya pengen rima saya merespon sesuatu, dan acuannya kalo ngga orang yang nantangin battle ya ritme atau beat itu tadi. Biasanya saya berangkat dari free-flow freestyle, tapi seringnya saya ngga puas ama format freestyle karena bentuknya sendiri yang ?loose? dan ngga terlalu konseptual dan ngga terlalu ngehajar atmosfer benak orang secara mendalam. Sejujurnya saya lebih suka written rhymes daripada lirik freestyle meski ngga selalu.

membaca lirik lirik Homicide yang tampak sarat dengan pesan pesan yang kadang nyerempet ke politik. apa visi dan misi loe dengan lirik lirik tersebut? Nyerempet politik?,
fuck it…, my shit is exteremly political, hkahkahkhakhak, ngga becanda, tapi…, mmm ngga juga…, maksud saya gini, ini menyangkut banyak dengan persepsi lu sendiri terhadap term ‘politik’ dan ‘politikal’. Pernah ngga denger jawaban orang kalo ditanya kenapa lirik lu tentang cinta? pastilah jawabannya: “saya ngga bisa nulis lagu politis atau tema-tema sosial dsb…dsb”… hkhkhkk, sekarang silahkan pikirin lagi apa bedanya lagu cinta dengan lagu politik atau lagu emo dan lirik propaganda? they’re the same shit different smell buat saya…, Buat saya sendiri lirik saya adalah lirik ‘personal’, karena saya tak pernah membuat lirik yang tak ada hubungannya dengan pengalaman personal. Buat saya lirik saya lirik emo karena buat apa nulis lirik kalo emosi ngga jalan dan ngga dipake? Cuman orang tolol yang bikin lirik ngga dijiwai dan ngga dihidupi. Intinya: i really hate the fuckin term!. Saya benci klasifikasi model begini. Seolah-olah sesuatu yang personal itu kagak politis, dan yang politis itu ada dikutub berbeda dengan perasaan personal. Seolah-olah halpersonaldan politis ada di dua kutub berbeda yang berlawanan dan manusia disuruh memilih diantara dua pilihan tadi; “being personal or political”. Fuck that. Saya benci pengkelasan seperti ini karena membuat segala sesuatu menjadi didangkalkan seperti tadi. Label lirik politis dan lirik personal membuat kita berfikir seolah-olah yang politis itu tak memiliki hasrat dan bukan manusia. Hanya sekedar sebuah ‘mesin politik’ yang kagak bisa nangis dan tertawa. Ini aneh, seolah mereka yang membicarakan cinta itu tak memiliki kebencian dan yang memiliki kemuakan atas sesuatu tak bisa mencintai sesuatu. Visi dan Misi? kok pertanyaannya kayak nanya ke ketua OSIS sih? apa ya visi dan misi saya? mmmm…. ngarang aja ya? visinya matahari dan misinya bikin sayap yang lebih kokoh dari ikarus….

saat ini cukup banyak kelompok kelompok yang menggunakan label hip-hop bertebaran di televisi. menurut loe apa yang bisa membedakan Homicide dengan mereka?
Bedanya banyak, mungkin lu justru harus bertanya tentang persamaannya. Lu justru harus mempertanyakan kenapa kami semua dilabelin dan dianggap hiphop, padahal beda-beda. Tunggu….hiphop? lho… bukannya kata orang-orang di scene hiphop indo kami ini band punk?

apakah aliran “sayap kiri” itu buat loe? apa Homicide berada dibagian tersebut?
Aduh, sayap kiri? itu bukannya bahasa yang dipake orang di abad kemaren? wah kagak begawl lu…., udah kagak ngtrend lagi ‘bo…, kami sekarang berada di sayap jibril, sayap ikarus, sayap ababil dan sayap naga. (konon naga punya sayap meski kecil dan dilupain orang…, kan mitosnya naga bisa terbang, nah pasti punya sayap kan?)…., c’mon……!!! WTC udah runtuh, Cina udah masuk WTO, Che Guavara udah ditemuin mayatnya, Osama bin Laden tambah panjang jenggotnya, Madonna tambah tua, anak saya udah dua… ayolah tinggalin aja left-right-wing bullshit model begitu dan kasiin buat para asshole neo-feodal yang masih pengen tinggal di dunia lama. ….yaknawwhatamsyn??? tapi kalo pelu deskripsi tentang apa fondasi ideologis saya OK: politik saya lebih radikal dari politik ke-kiri-kirian yang tentu lebih ekstrim militansinya dari politik ke-kanan-kanan-an, dan tentu saja lebih fundamental dari semua fundamentalis yang lebih organik dari semua fondasi filsafat yang pernah lahir di muka bumi yang suka dijadiin ruang pembenaran buat orang-orang yang gemar memilih ditengah-tengah….., Hakakakakakakkhkhkhk…..,

darimana loe mendapatkan inspirasi menggunakan teknik ngerap seperti yang elo jalanin sekarang?
Dari macem-macem…, anjir sori, tadi saya kebablasan ngejawab pertanyaan nomor dua, harusnya disisain untuk nomor ini. Sori… sori…

bagaimana biasanya proses sebuah lagu jadi. dan bagaimana biasanya loe memutuskan apakah sebuah sample akan digunakan dalam lagu atau tidak? Biasanya saya berangkat dari lirik. Tapi ngga juga sering juga saya denger lagu atau sample yang menggugah dari apapun mulai dari suara tongeret, soundtrack film atau lagu yang kemudian diloop dan baru nulis lirik, udah nyampe komposisinya baru saya bikin konstruksi utuhnya. Tapi ada juga hasil nge-jam dan nulis lirik sesabetnya. Macem-macemlah, ngga ada proses tunggal.

bagaimana suasana pertunjukan Homicide yang paling ideal. sehingga baik Homicide dan penonton bisa meraih hasil kepuasan yang maksimal?
Pertunjukkan yang ideal itu ngga ada, yang ada pertunjukkan yang asik. Yang asik bagi kami adalah pertunjukkan yang kami bisa komunikasi dua arah dengan yang nonton (bukan penonton). Bentuk komunikasinya banyak, kadang ada yang cuman joged peduli setan sekuriti panggung, ada yang neriakin terus kami timpali, ada yang naik panggung ngambil mik dan ikut nge-rhyme, terserah mau battle sekalipun oke. Pertunjukkan yang asik itu yang bisa ngeruntuhin barikade mitos ‘artis-penonton/fans’ antara saya yang dipanggung dan mereka yang diiluar panggung. Pertunjukkan yang asoy kayak gitu susah kalo format acaranya seperti yang selama ini kita alamin, saya pribadi lebih cenderung memilih panggung kecil, pertunjukan sederhana yang ngga banyak orang tapi semua yang datang bisa berpartisipasi aktif didalammnya bukan cuman pasif nonton, ngapain kek bikin kegaduhan ritmik sendiri kek, set-up meja literatur kek, ngajak band debat kek, apa ajalah pokoknya harmoni dari chaos yang jalan begitu aja. Acara model begini banyak yang bilang mustahil, ah itu mah kagak gaol aja hkhkhk… udah banyak acara begini terlaksana dengan sukses dan rutin, di Bandung sendiri udah sering acara begini terorganisir sampe selesai…, meski tipe acaranya acara hardcore/punk. Kalo saya dituduh membual-bual silahkan datang ke acara kawan-kawan yang ngorganisir acara benefit buat Food Not Bombs lokal bulan depan, kalo ngga salah nama eventnya Prideless Fest, yang maen dari Cabinet sampe Domestik Doktrin sampe Bones Brigade sampe A Friend 4 Life. Tapi sbenernya sih dari dulu, jauh hari dulu, juga udah sering kejadian fenomena kayak gini cuman kita ngga sadar aja, contohnya dulu di kampus Unpad Dipatiukur setiap malam apa gitu (saya lupa), kolektif/unit keroncongan di kampus itu sering ngadain acara dadakan rutin di lapangan dalem kampus, tapi sekarang udah ngga ada lagi, ?sayang, pada kemana ya mereka?

tolong dong ceritakan tentang album Homicide yang akan datang?
Rencana sih bikin satu album full, udah saya seleksi materinya sekitar 8 atau 9 lagu. Tadinya mau dirilis Groove Records, but something happened then fuck it we?ll do it on our own way. Materinya setengah lama (yang dirombak ulang) dan setengah baru. Dibantu oleh lebih banyak lagi temen dalam proyek ini, beberapa materi musik ada yang ditulis bareng Jojon Balcony dan beberapa ada yang dibantu Udi dari Pure Saturday. Beberapa materi baru yang menakjubkan buat saya pribadi adalah materi yang dibikin bareng Iwan aka DJ E, anggota The Cronic, dia maenin turntable dengan manual-style, offbeat dan buas yang sisanya saya tambahin noise respon yang entah nanti dimixingnya kayak gimana, saya belum dapet gambaran, gimana nanti aja di studio. Album ini saya arahkan secara sound untuk nantinya biar rada ‘epic’. Secara lirikal, seperti biasa, ‘political as Hemingway, Kafka and Chairil Anwar did’, dan ‘personal as Debord, Toni Negri & Tan Malaka did? bedanya secara teknis mungkin kali ini saya menghindari metafor ikonik sebisa mungkin. Rencana sih pengennya masuk studio April ini tapi entahlah biasa…. ngumpulin dokat kadang-kadang suka memolorkan waktu. Rencananya bakal saya kasih judul “RISALAH PEZIARAH MAKAM PARA PELULUH LANTAH THAGUT YANG RATA DENGAN TANAH”, kepanjangan ngga ya?

5 album rekaman yang menurut loe paling berpengaruh buat loe?
Lima? akhhh… gua kasih sebelas aja yah, karena anak gua yang kedua lahir tanggal sebelas..: Fear of A Black Planet – Public Enemy
Funcrusher Plus – Company Flow
Diskografi – Minor Threat
Monuments to Thieves – His Hero is Gone
Lift Your Skinny Fist Like Antennas To Heaven – Godspeed, You Black Emperor!
Heartwork – Carcass
Fantastic Damage – El P
Shape of Punk to Come – Refused
Dummy – Portishead
Streetcleaner – Godflesh
South of Heaven – Slayer

pesan pesan ?
Election Day is a bitch!… hoe-ass bitch!!!, makasih udah mau ngewawancara

Interview with Ucok Homicide by Ripple Magazine


Morgue Vanguard, M.V. atau lebih dikenal dengan Ucok. Sumpah serapah dan kegelisahannya sudah tertumpahkan pada lirik-lirknya yang menyerang neo-liberalisme, konsumerisme dan konstalasi perpolitikan internasional bersama dialektika dan analagi-analoginya yang cerdas (“Berkomposisi bak Guantanamo sekolosal mega-orkestra Steve Albini..”) bersama grup hiphopnya seminal-nya, Homicide, yang sudah bubar tahun kemarin, statusnya sebagai seorang yang cukup notorious, tidak hanya di skena hiphop itu sendiri, tapi di industri musik Indonesia (album Nekrophone Days masuk 150 album terbaik versi majalah Rolling Stone Indonesia). Mari kita simak interview RIPPLE dengan MC/beatmaker/lyricist yang rekor golputnya belum terpecahkan ini..

Pendapat lo tentang musik hip-hop yang hanya dianggap musik ‘digging’ yang selalu mengambil sampling-sampling dari CD/kaset/plat album-album lama?
Sebenarnya permasalahannya bukan masalah digging-nya, tapi lebih ke masalah sampling-nya. Ada juga DJ/produser yang ga digging, jadi musik yang dia dapet, dia kemas ulang. Dan ada juga yang emang sengaja digging. Hanya saja, biasanya produser-produser yang nyari source-source musik lama itu materinya suka lebih bagus. Bandingin aja si Madlib ama DJ Krush, kalo DJ Krush lebih sedapetnya, sebagian bikin, trus tambahin synth, tapi tetap sampling. Kalo Madlib dia pure, jadi dalam satu lagu itu dia bisa sampling 10 lagu orang lain. Itu kan beda. Tapi mun ceuk urang mah (kalo kata Gua sih-red) hiphop itu bukan di permasalahan digging-nya, tapi lebih bagaimana buat sesuatu yg baru dari barang-barang bekas yang udah ada. Filosofinya mah sebenernya filosofi lama, postmodern lama, jadi buat sesuatu yang baru dari yang lama.

Pas jaman si Afrika Bambata sama Kurtis Blow sampling tuh masih legal banget, lu bebas mo sampling apapun… sekarang gimana sih kondisi hukumnya?
Nah itu dia! Gua ga tau yah kenapa sekarang si Madlib kok bisa sample lagu-lagu lama segitu banyak hari gini… Kemungkinannya ada dua, mungkin dia indie, gak terlacak atau punya duit banyak. Karena permasalahannya semenjak 90-an awal ada undang-undang sample itu, yang merubah banyak wajah musik hiphop. Contohnya coba aja Lu denger album Public Enemy sebelum ’92 dengan yang sesudah ’92. Ambil aja yang paling kaya akan sample itu “Fear Of A Black Planet”. Dalam satu lagu aja mereka bisa sampling 20 lagu, dan anjing gandeng pisan! Brengsek tuh! Hahaha. Saking banyaknya sample sampe ga tau itu sampling dari mana aja?! Pernah waktu itu Saya ulik salah satu lagunya yang judulnya ‘Brothers Gonna Work It Out’, konon ada yang ngambil dari Prince “anjing ini Prince dimananyah?!”… mereka ngambil dari artis-artis Motown tapi kok gandeng gini? Hahaha. Nah coba Lu perhatiin ada perubahan sejak ’92. Beatmaker-nya PE, Hank Shocklee (The Bomb Squad -red) pernah bilang di wawancaranya bahwa gara-gara ada UU sample dia mulai bikin musik PE kaya sekarang gini, garing dan generik untuk mengatasi terbatasnya biaya untuk sample-clearing. Nah yang Gua heran.. Itu si Madlib ama Jay Dilla itu gimana itu anjing Hahaha! Apalagi si Madlib sampling Aretha Franklin aja udah jadi masalah tuh sebenernya..

Oh iya, si Dangermouse aja kena masalah tuh yang ama Beatles dan Jay-Z ya?
Makanya si Jay Dilla yang album remix Beach Boys (Beach Boys VS J DIlla: Pet Sounds In The Key Of Dee -red) Itu Gua curiga juga kok ga kena masalah ya..

Gue curiganya sih itu album bootleg. Ato unreleased Cok..
Tapi Madlib yang ‘Shades Of Blue’ (sampling band-band jazz Blue Note records -red) gimana tuh..

Oh itu kalo gue ga salah dia emang disuruh Blue Note Records-nya nge remix lagu-lagu jazz di katalog mereka.
Ohh bisa jadi ada kerjasama ama records itu, cuma yang laen-laen nya nih gue ga tau ko mereka ga kena parah juga ya, padahal si J Dilla tuh sample nya berlayer-layer. Tapi intinya, mereka-mereka tuh perkecualian, cuma 1-2 beatmakers yang masih bisa kreatif kaya gitu sekarang-sekarang. Sisanya mah semenjak ada UU sampling itu jadi makin parah anjing teh Hahaha. Album paling parah Public Enemy itu yang setengahnya live…

Wah itu butut pisan..
Iya! anjing itu butut pisan anjing hahaha! “Muse Sick and Hour Mess Age” itu bututnya astagfirrullah… Kok PE bisa sebutut itu! Ada juga sih yang ngakalinnya kaya Dalek, dia sampling-sampling tapi trus dimasukin synthe, segala macem, jadi keluarnya udah kaya Fennesz suaranya, udah ambience. Trus sampling ulang, sampling nya juga yang aneh-aneh kaya My Bloody Valentine, Faust…

Lu sendiri kemaren pas album “Illsurrekshun” (Homicide) sampling dari mana aja?
Banyak… ‘Tantang Tirani’ kan hook pertama kebaca pisan itu Godflesh. ‘Megatukad’ juga horn section-nya ngambil dari Curtis Mayfield. Dari RnB Motown, sampe metal juga ada disitu. Gua nyample Earth juga ada. Cuman ga akan ketauan sih karena udah di daur ulang. Kayak di lagu ‘Terra Angkara’ itu si Iwan scratch pake Hilmar Orn Hilmarson yang udah gua chop. Ada yang sih yang obvious tapi ahh anjing da orang juga ga akan nge-sue masalah copyright gitu, kepedean amat, aman-aman aja kalo Gua sih. Buat kita-kita mah ya hajar-hajar aja lah. Semua source nya banyaknya dari CD, kalo plat jarang. Gua ga parah soalnya koleksi platnya. CD langsung masuk CDJ, trus masuk sample.

Lirik-lirik di lagu Lo pernah menjadi masalah ga? Gimana Lu ngerespon nya?
Hehe banyak.. Kalo selama itu gak bersentuhan langsung dengan gua, kayak posting-posting di website mana gituh, atau nge-bacot soal gua gini gitu dimana gitu, biarin aja. Itu hak dia. Cuma kalo udah ngegganggu, kaya misalnya ngirim langsung email-email gelap, sms, ato posting di website Gua, ya Gua tanya lagi, ajak diskusi, debat dsb. Soalnya di lirik tuh bisa ada dua sebab, pertama karena emang dia kena sikat, kedua karena lirik gua pake metafor yang nyerempet dan multi-tafsir, dan kemudian salah kaprah. Keliatannya kan jadi kaya Gua ngga suka sama seseorang. Ada beberapa nama yang kalau dijadikan metafora cocok untuk mendeskreditkan sesuatu, tapi bukan untuk mendeskreditkan seseorang, karena emang metafornya seperti itu. Kaya yang dulu si Aszi name-dropping Harry Roesli itu bukannya kita ga respek sama almarhum, tapi dipakai untuk analogi. Yala dan Hami (anak Almarhum Harry Roesli-red), yang emang temen kita juga ga ada masalah, Makanya dulu kita sempet featuring di album mereka Authority, cuma orang-orang banyak yang liatnya gimana gituh.

Kalo soal name-dropping dan analogi di lirik emang dikonsep?
Oh Iya. Soalnya kalau mau menjelaskan sesuatu pakai kata-kata itu panjang, kalo pake analogi kan cepet. Kaya misalnya yang “Lupakan Columbus karena Bush dan Nike telah menemukan Amerika”, jadi yang mendeskripsikan Amerika sekarang udah bukan Columbus, tapi korporasi. Kaya yang name-dropping si Itang Yunaz juga bukan berarti gua benci Itang Yunaz, tapi “Kami bayar lunas semua tagihan pay-dues sejak jaman Itang Yunaz” kan pengandaian berapa lama gua pay dues, analogi aja. Persis dengan “Hari ini mulai lah berhenti mempertanyakan kualitas, dengan populasi MC yang lebih padat dari Cicadas” kan bukan artinya gua ga suka ama Cicadas, cuman kita sama-sama tahu Cicadas padat, dan metafor yang tepat melukiskan kondisi scene hiphop hari ini yang padat tapi berbanding terbalik ama kualitas nya. Hehehehe. jadi analogi-analogi kaya gitu tuh membantu banget. Tapi ada yang memang udah bukan metafor tapi udah jadi sasaran tembak “Hidup yang menolak bergantung kepada para sudagar serupa Yusuf Kalla” itu udah jelas-jelas bukan hanya metafor, tapi udah jelas target operasinya apa…atau yang paling lengkap mah “Rima ini lebih sakti dari Pancasila, yang siap menantang invasi/ Dari jadah global Sony hingga korporat domestik serupa Bakrie” nah itu rangkaian metafor nya udah sekaligus jadi kanon.

Icon yang paling berpengaruh dalam hidup kamu yang semasa hidupnya banyak dibenci orang?
Tan Malaka. Pada jamannya, kayaknya dia banyak ngga disukai orang. Diburu sama semua orang, termasuk ama orang-orang yang segaris ideologinya. Dia komunis tapi dia ga disukai sama komunis-komunis model Muso, Semaun dan Aidit, apalagi yang non-komunis. Sukarno juga sebenernya ga suka sama Tan Malaka, hubungannya ama Syahrir dan Sudirman juga love/hate relationship lah. Dari sayap kanan, kiri, tengah ga ada yg suka, soalnya dia emang slonong boy, kumaha manehna weh (gimana dianya aja-red) tapi rock ‘n roll. Apalagi kalo Lu baca cerita-cerita unpublished-nya yang terakhir di Tempo. Itu brutal pisan. Anjing, Che Guevara tuh gak ada apa-apanya! Hahahaha, parah ni orang! Udah selayaknya dapet kredit, emang hidupnya juga udah ikonik. Nyamar gitu, sampe orang ga ada yang tau mukanya kaya apa. Sampe ada perdebatan, apakah Tan Malaka ada di lapangan Ikada pas rapat raksasa pertama setelah Indonesia merdeka, itu kan parah, jadi emang pada ga tau beungeut nya kayak apa, padahal dia organisator penting di lapangan pas peristiwa legendaris itu.

5 orang yang Lu paling ga suka siapa?
Pada dasarnya sih, gua bukan orang yang ga suka2 amat ama orang dalam artian personal, tapi karena motif lain dan biasanya politis. Ya yang pasti mah kalo ditanya sekarang gua bakal jawab Aburizal Bakrie. Aing ngewa pisan ka jelema eta. Hahaha. Juga termasuk kolega nya itu, Yusuf Kalla, ga kebayang kalo duet dia ama Wiranto emang jadi kepilih pas pilpres ntar, itu artinya orang Indonesia emang udah pada ga waras. Dan mungkin juga saat-saat ini mah plus beberapa elit nasional yang emang menyebalkan di TV. Terlebih Megawati, heran sampe ada orang yang keukeuh milih orang kaya dia jadi presiden lagi itu kenapa, aneh. Itu sama dengan milih ST12 jadi band paling bagus tahun ini. Absurd. Ada juga orang-orang yang bertanggung jawab atas banyak hal, baik yang masih ada kayak Muchdi PR atau yang udah ‘lewat’ kayak Suharto.

Kalo Selebritis?
Wahaha, apa ya? Yang kepikiran langsung mah Cokelat!. Hahaha, dulu perasaan ga ngewa-ngewa (nyebelin-red) amat gituh, tapi makin kesini kok jadi semangkin absurd gitu nasionalisme-nya, kaya kebanyakan ikut Paskibra. Udah mah secara estetis makin butut, lalu secara ideologis mereka ngusung patriotisme irasional yang sejak dulu kita dicekokin lewat P4 dan udah saatnya ama generasi sekarang di kubur idup-idup. Kalo emang mau nasionalis, lha wong yang rasional lah, tapi lu tau kan tipe-tipe nasionalis yang absurd, giliran soal batik di pake ama Malaysia, pada ngadat nya kayak di-bo’ol (disodomi-red) pake ujung sikat WC atau beungeut (muka-red) di-cumshot pake pejuh bulldog, tapi dari dulu Freeport, Newmont dan sekarang Exxon nyedot Sumber Daya Alam kita, mana ada kedengeran? Malah dianggap seperti yang emang udah harus dari sana nya. Kalo band-band pasca Peterpan mah ga usah disebut lagi, orang-orang juga udah pada tau mereka jelek. Kaya Kangen dan ST12 gitu, Tapi kasian juga band-band kaya gitu… Soalnya mereka emang niatannya pengen jadi band jelek. Karena yang jelek-jelek kan menjual di Indonesia, jadi ga fair juga kalo mereka disalah-salahin amat. Mereka sama dengan telinga mayoritas orang sini yang jadi korban settingan penyeragaman industri musik lokal. Trus, siapa yah… SYAIFUL JAMIL! Tapi itu saking sebel-nya jadi lucu hahaha.. Kalo Cokelat mah ga lucu anjist! Haha.. Kalo Syaiful Jamil mah lucu! Trus mungkin Rachel Maryam dengan politik sok-naif dan innocence nya, dan konon kepilih pula, untuk dapil Bandung pula. Ah pokoknya artis-artis oportunis yang jadi caleg, yang sok-kritis, sok-reformis, sok pro-perubahan, padahal kalo Suharto masih menjabat sekarang, mereka pasti bakal di barisan artis-artis yang nyanyi “Bapak Pembangunan” di sebelah Titiek Puspa.

Rencana kedepan dengan “kendaraan” baru Lo, Trigger Mortis?
Sementara mah, masih beresin yang ga beres-beres; Rekaman buat album, EP yang durasinya sama kayak album. Lagunya dikit tapi panjang-panjang. Bentar lagi kita mau karantina buat beresin materi. Bedanya ama Homicide mungkin dulu sampling yang dominan, kalo di Trigger ngga. Seimbang lah ama unsur pake instrumen analog. Secara lirik juga beda sih..

Last words..?
Mmm.. Apa ya.. Tapi bener kok… Cokelat jelek! Hahaha!
November 30, 2009


Homicide dalam Diskusi

FRANS A. PRASETYO|Apalagi yang mau dibahas tentang band yang satu ini. Yeah, memang HOMICIDE akan terus menjadi pembicaraan dikalangan subculture khususnya diBandung. Homicide yang tahun 2009 dinyatakan bubar oleh salah satu frontman-nya Ucok aka Morgue Vanguard aka Herry Sutresna dicoba diulas setelah dari sejak pendiriannya band ini termasuk yang jarang diketahui seluk-beluknya secara mendalam, mungkin hanya dikalalangan teman-teman dekatnya saja. Kali ini di Common Room dengan mendatangkan sang-frontman Ucok juga hadir Gaya (add backvocal Homicide), andre (add Guitar Homicide), Reggi (teman dekat) yang dipandu Kimung (ex Burgerkill&Scymbag writer) mencoba membedah secara lebih personal dan mendalam tentang semua aspek yang melekat pada HOMICIDE.

Homicide yang terbentuk sekitar pertengahan 90an, menjadi salah satu tonggak bangkitnya musik-musik yang termarjinalkan, diawali oleh Aszi, Leppe dan Ucok sendiri, Homicide terbentuk dengan mengusung Hip-Hop sebagai pelampiasan passion-nya dibidang musik, walaupun menurut saya Homicide adalah Hip-Hop yang lebih Punk dari punk itu sendiri dan Punk yang lebih hip-hop dari hip hop itu sendiri.Seiring waktu banyak terjadi perubahan yang signifikat dari Homicide mulai dari ditinggalkan personelnya satu demi satu, sehingga Ucok berupaya survive sendiri yang mengakibatkan miskinnya produktivitas dari band ini, baik dari album maupun performance nya itu sendiri.

Sekitar 2003an , Homicide mulai merangkak kembali dengan kian produktif untuk serius menggarap Full Album dan coba “manggung” kembali walaupun dikalangan komunitas saja. Akhirnya 2006 keluarlah HOMICIDE CD : The Necrophone Dayz dari Subciety Records dan kembali menuntaskan hutang nya dengan mengeluarkan CD : ILSHURECSUN tahun 2008 dan tak lupa Vinyl 12″ ber-slipt dgn MC HomeLess dari Prancis, seolah tugasnya telah tuntas maka Ucok membubarkan HOMICIDE ditahun 2009.

Membicarakan HOMICIDE memang banyak aspek yang harus dibahas, terdapat wilayah musikalitas, visual design, komunitas, politik tentunya, life style sampai wilayah pribadi sendiri dari Ucok yang semuanya tertumpah ruah dalam albumnya dan merchandisenya. Belum lagi wilayah sosial politik dan agama yang sering dikaitkan dengan HOMICIDE terutama karena lyrik-lyriknya dan aktivitas dari sang-frontman itu sendiri yang secara tegas mempososikan Homicide diranah berbeda dari group lainnya bahkan tak tergantikan !

Ok,Segitu aja dulu untuk homicide.Mungkin nanti saya posting lagi artikel selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar